by

Ada Apa Sebenarnya Dengan KPK?

Setahun setelah kajian dan diskusi itu, tepatnya 11 April 2017, tiba-tiba kita dikejutkan kejadian penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan (NB). Kejadian yang hanya selang beberapa jam setelah KPK mengeluarkan Surat Cekal terhadap Setya Novanto (SN) yang terbelit kasus eKTP. Disitulah kejanggalannya! Menurut analisa saya, apa yang menimpa NB seharusnya tidak terjadi secepat itu jika memang dilatar belakangi terbitnya Surat Pencekalan. Dibutuhkan waktu yang cukup untuk menyiapkan pelaku, alat dan observasi lokasi eksekusi. Namun, masyarakat terlanjur menyoroti SN dan surat cekalnya. Saya justru berpikir, jangan-jangan ada penumpang gelap yang hanya menunggu momentum ini. Artinya, SN hanya sebagai pengalih perhatian sekaligus menjadi “tertuduh”. Padahal bisa jadi, NB juga sedang mengusut kasus lebih besar yang bisa mengusik kepentingan sebuah oligarkhi. Dan skenario intelijen tingkat tinggi dimainkan oleh mereka dengan umpan SN. Sebagaimana KPK pernah terseret skenario Cicak vs Buaya saat akan mengusut kasus ini.

Setelah kejadian penganiayaan itu, saya menaruh harapan sekaligus simpati setinggi-tingginya terhadap KPK dan khususnya pada Novel Baswedan. Berharap saat sudah pulih, ia semakin kencang membuka kasus yang sedang ditangani dan bisa jadi juga melatarbelakangi penyerangan tersebut. Namun janggalnya, seantero Republik ini fokus pada upaya pengungkapan pelaku penyiramanan. Bahkan ujung-ujungnya malah terbentuk narasi bahwa Jokowi berhutang mata pada Novel Baswedan. Padahal menurut saya, jika kita lebih mendorong pada kasus besar yang sedang ditangani NB, secara otomatis juga mendorong terungkapnya (dalang) kasus penyerangan itu. Inilah yang menurut saya cukup janggal. Bahkan tema “Hutang Mata” termasuk salah satu gorengan menjelang Pilpres 2019. Mirip dengan narasi “Koruptor Berhutang Budi Pada Jokowi” saat ini.

Kejanggalan mandegnya pengusutan ATM Politik di Jawa Barat juga semakin kentara sejak Kepolisian justru lebih aktif bergerak. Bahkan tak lama setelah dilantik, Pj Gubernur Jabar Komjen Pol Iriawan sempat menggeledah rumah dinas Wagub Jabar yang diduga terkait kasus yang membidik Aher. Kini kasus itu sudah ditangani Polri dan Aher juga telah dipanggil untuk diperiksa pada Maret 2019 lalu.

Kini saat isu Talibanisasi KPK vs Pelemahan KPK muncul, beberapa pertanyaan mengganjal dalam benak saya. Jika Talibanisasi benar adanya, bukankah tiga diantara lima Komisioner KPK adalah Non Muslim? Apa bisa? Jika isu itu benar, apakah berarti pengaruh Wadah Pegawai lebih dominan dari Komisioner dalam tubuh KPK?

Dan jika terpilihnya Ketua Komisioner yang baru dari Polri aktif dianggap sebagai pelemahan KPK, bukankah Polri akhir-akhir ini tidak kalah garang dengan mengungkap Kasus Korupsi Besar yang sempat mangkrak ketika ditangani KPK? Apalagi kasus itu menjerat Aher sebagai jajaran elit PKS yang ideologinya identik dengan Talibanisasi.

Yang terakhir, apakah perlunya pengawasan terhadap internal KPK akan memperlemah atau justru memperkuat KPK? Contohnya seperti kasus dugaan korupsi Aher yang sempat terkatung-katung di tangan KPK bisa dikatakan indikasi “lemah”nya KPK. Apakah justru itu pelemahan yang sesungguhnya? Karena jika kasus serupa di Jawa Timur diungkap, dampaknya akan mengusik Kelompok Oligarkhi. Sementara di Jawa Barat mengarah pada kepentingan Kelompok Ideologi.

Jadi, jangan sampai ada dusta di antara kita. Karena saya yakin antara Pemerintah dan KPK sudah sama-sama tahu simpulnya. Dan saya sebagai masyarakat biasa mengambil sikap “wait and see” sambil terus memantau di mana PKS berpihak. Simpel ‘kan?

*FAZ*

Sumber : Status Facebook Fadly Abu Zayyan

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed