by

3,6 Is Overrated

Tapi informasi yang disampaikan bertolakbelakang dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi Covid-19.

Ada yang salah di sini. Entah Kepala Humas yang ngaco atau Presiden Indonesia yang ketelisut. Sebagai media yang bertugas mengabarkan kebenaran, Anda harus memeriksa-ulang kabar tersebut.

Anda perlu naik ke pejabat lebih tinggi di Bekasi untuk meminta konfirmasi. Atau, pilihan kedua, Anda meminta klarifikasi dari Sekretariat Negara, sekurangnya Kantor Staf Presiden. Informasi yang bertolakbelakang harus dipastikan. Jika keliru, harus dijernihkan.

Anda bukan bekerja di media mading SMA. Di sana pun para siswa sudah diajar oleh pembina mereka untuk memastikan kesahihan dan otentisitas sebuah berita sebelum menayangkannya. Itu kewajiban utama para pekabar. Melalaikan itu, Anda mempertaruhkan masa depan media tempat Anda bekerja.

Karena itu saya ketawa geli membaca tulisan salah seorang kolumnis Detikcom. Dia membela kesalahan paling elementer Detikcom atas peristiwa di Bekasi. Alasannya, karena informasi didapat dari sumber resmi Pemkot Bekasi, Detikcom tidak keliru. 

My ass.

Menjadi lebih ngawur lagi ketika Detikcom menjadikan ucapan Kahumas sebagai judul berita tanpa menyertakan siapa pengucapnya. Detikcom telah menganggap ucapan tersebut sebagai informasi sahih sehingga menaruhnya sebagai kepala berita.

Dengan demikian, judul sudah menjadi tanggungjawab Detikcom, bukan lagi urusan Kahumas. Ketika pembaca tersulut oleh judul tanpa membaca isi, mereka tak bisa disalahkan. Kelaziman umum: judul mewakili isi. Beban sepenuh ada pada Detikcom yang telah mengangkatnya sebagai kepala berita tanpa menyebut siapa pengucapnya.

Seandainya detikcom melakukan verifikasi dan kemudian terdapatkan bahwa Kahumas Bekasi memang salah bicara, detikcom justru harus mengabarkan kengacoan humas Pemkot Bekasi, bukan menjadikan ucapan tersebut sebagai berita.

Itu makanya saya muak pada Detikcom dan melakukan uninstall. Saya tidak sendirian. Ribuan orang melakukan hal serupa dan mengoreksi rating Detikcom ke *1. Tak heran kalau rating mereka melorot dari 4,3 ke 3,6.

Tapi 3,6 masih ketinggian. Kalau *5 adalah rating maksimum, *3,6 adalah 72%nya. Anda gila? Media sekelas mading anak SMP dapat pengakuan publik sebesar 72%? That’s overrated, my friend.

Sebagai pemilik Indonesia kita bertanggungjawab mendidik isinya. Kita adalah penguasa. Kita punya hak untuk berhenti membaca media yang tidak punya kepedulian terhadap akurasi berita dan kebenaran.

Ini bukan cuma terhadap detikcom tapi juga kepada semua media yang lain. Mereka mengabaikan hak kita untuk mendapat ketenangan dan kedamaian, melulu hanya peduli kepada rating dan perolehan iklan atasnya. Karena rating yang mereka puja, maka rating pula yang perlu kita rampas dari mereka. 

Pekabar palsu tak punya hak untuk hidup. Mereka perlu belajar bertanggungjawab atas dirinya dan atas keselamatan masyarakat.

Jangan kemukakan lagi rasionalitas boncos. Sekali lagi, kita perlu mengingatkan pers akan 5 hal yang dikemukakan teman saya: akurasi, akurasi, akurasi, akurasi, dan akurasi. Meski sebuah kalimat terverifikasi diucap Novel Bakmigoreng, Anda tetap harus memeriksa logika di dalamnya. Kalau berkualitas sampah, jangan Anda muat. Kalau Anda muat, hak kami memberi *1 buat rating Anda.

Jangan bilang kami sedang membungkam mulut orang untuk bersuara. Anda boleh mengabarkan berita apa saja. Kami juga boleh memberi rating berapa saja. 

Juga, hentikan cari uang dari pertikaian para pesohor dengan mengadu mulut mereka. Dewasalah. Bernaslah. 

Berdirilah tegak untuk menjadi lentera Indonesia.

 

(Sumber: Facebook Sahat Siagian)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed