by

2 Minggu Kepemimpinan Anies, Menolak Maklum

Berbeda sangat dengan kepemimpinan yang menginspirasi.

Di hari pertama, Jokowi tahu-tahu sudah berdiri di pinggir selokan di pemukiman padat di Pademangan. Jokowi langsung instruksikan 2 Kadis-nya menyelesaikan got kotor dan tersumbat yang tak pernah disentuh selama bertahun2 itu. Mereka ditarget 1 minggu untuk menyelesaikan pembersihan saluran yang melintasi 3 RW di kawasan itu.

Sederhana, terukur, efektif. Dan tak terduga. Satu tindakan itu, mengorek got, seperti display sederhana bagaimana Jokowi mengoreksi kinerja bertahun-tahun pendahulunya, Soetiyoso dan Foke. Dua nama ini nampaknya belum pernah menginjakkan kaki di Pademangan.

Dan selalu seperti itu setiap hari — wartawan gak sempat bertanya hal-hal klise, malah seringnya terbirit2 mengejar ke mana Jokowi pergi. Jokowi ada di sana, lalu tiba-tiba pergi ke sini. Apa yang dilakukan Jokowi selalu melebihi ekspektasi (atau, pertanyaan-pertanyaan) wartawan.

Pemimpin inspiratif selalu menampilkan kesegaran, terobosan-terobosan. Mulai dari penampilannya, caranya bekerja, tempat2 yang dikunjunginya, dan tentu hasilnya. Oleh tangan Jokowi dan kemudian diteruskan oleh Ahok, Jakarta sungguh-sungguh disulap jadi baru.

Pemimpin menjadi sosok yang inspiratif karena kinerjanya melebihi ekspektasi dan orisinil. Ia mengejutkan sekaligus mengagumkan.

Ahok, misalnya, menyadari sumbatan-sumbatan birokrasi yang dihadapi warga, tersebar di meja-meja kelurahan di seluruh Jakarta, menerapkan pelayanan terpadu satu pintu di kelurahan. Kinerja kelurahan direformasi total. Kelurahan melayani mulai dari KK, IMB, sampai ijin domisili perusahaan dalam waktu yang terukur dan profesional, dengan standar CS bank dan tanpa kutipan. Seluruh warga menikmatinya.

Dan tak cuma itu!

Ahok bahkan antusias melayani langsung warga yang mencari solusi ke Balai Kota. Ahok menerima warga setiap hari, di 45 menit pertama jam kerjanya setiap pagi. Sebanyak apapun keluhan, sampai permintaan selfie, dilayani. Pada masa Ahok, warga menikmati urusan2nya di kelurahan beres, dan pergi ke Balai Kota adalah solusi bahkan sebelum solusi itu diberikan.

Tapi itu semua sudah berlalu, hanya terjadi pada jaman “kolonial”.

Jaman now, di masa kepemimpinan “inlander” atau pribumi, warga yang datang ke Balai Kota belum tentu mendapat solusi. Disindir sih pasti. Pakai kalimat santun, lagi, tapi sesungguhnya bermakna ketus: “jangan datang lagi”; “Urusanmu selesaikan di kelurahan, jangan bawa ke saya”.

“Sialan lu Hok, gue jadi ketumpuan begini.”

Sumber : Status Facebook Ferdinan Tobing

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed